Rabu, 02 Desember 2009

Hukum Kita dan Pisau Emak

KEMARIN Emak menyuruhku mengasah pisau yang ada di dapur agar kembali tajam. Aku bertanya kepada Emak, "Mak, punggung pisaunya ditajamkan tidak? Emak menjawab tanpa melihat, "Ya nggak to, pisau itu kan hanya sisi bawahnya saja yang di pakai untuk memotong." Setelah selesai mengasah, aku berikan pisau itu kepada Emak untuk memotong daging jatah kurban.

Hari ini aku ingat pisau Emak yang seperti hukum kita, sangat tajam di bawahnya namun di atasnya tumpul. Hukum kita begitu sulit menangkap Si A dan begitu mudah meringkus Si B. Hal itu menjadi ironi yang sangat nyata di negeri ini.

Hukum seakan sudah menjadi barang dagangan yang dapat di perjualbelikan, seperti daging sapi di Super Market yang super mahal, rakyat kecil tidak sanggup untuk membelinya. Mereka hanya setahun sekali menikmati daging sapi itu kalau mendapat jatah dari orang yang berkurban. Namun, orang yang berduit atau penguasa sangat mudah membeli daging sapi itu walau dengan harga yang super mahal.

Sekarang siapa yang meiliki duit dan kekuasaan, maka dapat memenangi dan mengondisikan kasus-kasus yang menjeratnya. Mereka dapat menyuap para Mavia Hukum yang sudah terstruktur dari para oknum penegak hukum di negeri ini. Namun, rakyat kecil yang tidak meiliki uang maka bersiaplah hukum akan menindaknya dengan cepat dan keras. Seperti pencuri Cacao, Semangka, Ayam dan lain sebagainya yang akhir-akhir ini gencar di beritakan di media cetak maupun elektronik. Mereka langsung mendapatkan hukuman yang sangat tidak proporsional dengan kesalahannya.

Keadilan hanya milik orang berduit. Kalau ada duit maka kasus pun beres. Aku dan Emak kini takut bermasalah dengan hukum di negeri ini. Karena aku dan Emak sebagai rakyat kecil tidak mampu untuk membayar atau menebus para mavia hukum. Dan aku pun tahu kalau hukum kita itu sangat tajam, saat menindak kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh rakyat kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar